Oleh:
Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA
(Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, islamkontemporer.id – Kata “Halal bi halal” adalah ungkapan kata bahasa Arab, yang bentuknya nakirah bukan ma’rifah, nakirah ini berarti;
:الاسم النكرة هو اسم يدل على غير معيّن أو شيء شائع غير محدد أو عام، مثال على ذلك
طفل •
تلميذ •
طائر •
وردة •
لعبة •
Frasa isim nakirah berarti kata benda/bentukan menunjukkan hal yang tidak ditentukan bendanya atau hal tersebar tidak ditentukan jenisnya, rupanya dan lainnya, atau berarti hal umum diketahui orang bukan hal terkhususkan, misalnya kata nakirah; bocah, murid, pesawat, bunga, mainan dan halalun.
Kata “Halalun bi halalin” ini tidak umum diketahui dan tidak biasa diistilahkan oleh bangsa Arab sebagai kata yang bermakna terminologi maaf memaafkan, namun bila ditelusuri konteks bahasanya, bangsa Arab tahu frasa itu dan mereka juga memahaminya bahwa itu berarti maaf memaafkan. Halaalun itu artinya sesuatu dihalalkan, bi halaalin artinya di balas oleh pihak lain dengan sesuatu yang dihalalkan, juga singkatan katanya adalah “Halal bi halal”.
Dalam konteks ke-Indonesiaan khususnya di Sulawesi Selatan setiap kali Idul Fitri hadir, maka masyarakat Sulawesi Selatan itu mengikutkan acara setelah Idul fitri yaitu mereka mengadakan halal bi halal pada setiap komunitas, ormas, parpol bahkan dalam tingkat jajaran instansi resmi atau swasta. Para dai juga diundang untuk menjelaskan hikmah dibalik acara “Halal bi halal”.
Ketika makna “Halal bi halal” dihadirkan pada masyarakat, maka yang terkemuka adalah pesan pesan penting, nilai al afwu dan al gufron terkemuka kembali, bahwa prinsip utama ajaran Islam harus dihadirkan setelah Ramadan dan Idul Fitri adalah menyambung tali silaturahmi dan saling maaf-memaafkan sesama,disertai dengan hal-hal berbuat mempertautkan seluruh elemen yang pernah berselisih faham atau berpotensi berselisih dalam perbuatan.