Oleh:
Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, islamkontemporer.id– Puasa itu sifatnya taklifi atau perintah Allah Swt, disebut juga ta’abbudi atau ungkapan ibadah, puasa bila dilakukan memiliki tuntunan kondisional berupa wajib, sunnah, makruh, mubah bahkan haram.
Untuk puasa yang diharamkan ini perlu uraian tersendiri sebagai berikut :
- Puasa sunnah seorang istri tanpa izin suami, atau sepengetahuan suami tapi tidak diridhoi kecuali suami tidak ada hasrat, bepergian, sementara berihram haji, umroh atau sedang itikaf di masjid sesuai hadis nabi yang artinya; ” Tidak halal bagi seorang istri yang berpuasa sementara suaminya menyaksikan kecuali atas izinnya” (HR Bukhari dan Muslim).Alasan syariatnya adalah karena kewajiban istri pada suami hukumnya fardhu atau wajib sementara puasa sunnah statusnya lebih rendah dari kewajiban, bagi suami hendaknya menyuruh istrinya berbuka dari puasa sunnah karena ia membutuhkannya. Kondisi hukum seperti ini dalam mazhab Imam Hanafi disebut makruh tahrim atau makruh yang berujung haram.
- Puasa hari ke-30 bulan Syaban yaitu bila saja umumnya manusia ragu bahwa hari itu berada diantara pemahaman masuk Ramadan atau belum masuk Ramadan. Ketetapan ini ada khilaf dikalangan ulama, ada yang membolehkan puasa pada 30 Syaban bila bertepatan dengan kebiasaan pada seseorang seperti bertepatan dengan Senin dan Kamis atau puasa lainya yang dirutinkan.
- Puasa pada hari Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari Tasyrik.
- Puasa orang yang haid dan nifas adalah haram, hendaknya mengganti puasa Ramadan dengan puasa qadha tanpa shalat qadha.
- Dalam mazhab Syafii puasa sunnah 15 hari terakhir bulan Syaban haram bila tidak mempunyai adat dan kebiasaan puasa-puasa sunnah seperti halnya puasa pada 30 Syaban.
- Puasa bagi orang yang khawatir dirinya binasa yaitu bahwa dengan melakukan puasa ia bisa mati.
Haramnya berpuasa pada kondisi-kondisi tersebut sebagai bukti bahwa puasa memiliki tuntunan perintah Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saw, pelaksanaanya harus terbukti berdasarkan perintah maupun anjuran atau mubah sehingga ibadah umat ini terukur dan sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Wallahu A’lam.
*Irfan Suba Raya*